10
September 2009
Tingginya konsumsi beras di Indonesia
menyebabkan diterapkannya kebijakan impor yang menyiksa petani dan mengancam
kesehatan masyarakat. Oleh sebab itu diperlukan diversifikasi pangan untuk
mengatasi tingginya konsumsi beras.
Konsumsi beras Indonesia menduduki peringkat
satu dunia. Setiap tahunnya, konsumsi beras per kapita oleh masyarakat
Indonesia mencapai 139 kilogram per kapita. Jumlah ini sangat jauh bila
dibandingkan dengan negara Asia lainnya seperti Jepang dan Malaysia yang hanya
60 kg dan 80 kg per kapita per tahun. Dalam kasus yang lebih ekstrem, pada
tahun 2008 provinsi Sulawesi Tenggara memiliki tingkat konsumsi sebesar 195,5
kilogram per kapita.
Tingginya konsumsi beras mengakibatkan
permintaan beras di dalam negeri tinggi dan terkadang tidak seimbang dengan
ketersediaan. Setidaknya terdapat dua alasan yakni tingginya impor yang
merugikan petani dan aspek kesehatan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS),
pada 2008 Indonesia memproduksi padi sebesar 60,33 juta ton gabah kering giling
(GKG). Angka ini mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun 2007
sebesar 3,17 juta ton atau 5,54 persen.
Walaupun produksi beras Indonesia tinggi, hal
ini juga diimbangi dengan tingginya konsumsi yang akhirnya mengarahkan kebijakan
pemerintah untuk melakukan impor beras. Kebijakan impor dipilih pemerintah
untuk memenuhi kebutuhan beras dalam negeri dan menekan harga agar tetap
terjangkau konsumen. Hal ini jelas merugikan petani.
Data yang dikumpulkan oleh Koalisi Rakyat untuk
Kedaulatan Pangan (KRKP) selama tahun 1996 – 2003, Indonesia mengimpor beras
rata rata 2,8 juta ton per tahun. Pada 2007 impor beras Indonesia mencapai 1,5
juta ton dan baru pada tahun 2008 Indonesia bebas dari impor beras dengan klaim
pemerintah sebagai tahun swasembada beras.
Dari aspek kesehatan, konsumsi beras dalam
jumlah tinggi tidaklah baik bagi kesehatan. Dr.Ir.Posman Sibuea dari Lembaga
Penelitian dan Pengembangan (Lemlit) Tekonologi Pangan Universitas Methodist
Medan menuturkan bahwa pola makan yang monoton seperti mengkonsumsi nasi
kuranglah baik karena asupan gizi yang diterima oleh tubuh menjadi lebih
sedikit.
Witoro selaku Sekretaris Jendral KRKP menuturkan
bahwa terdapat banyak sekali alternatif pilihan makanan pokok pengganti beras
yang mengandung karbohidrat. karbohidrat dapat ditemui dalam berbagai jenis
makanan lain seperti ubi kayu (singkong), ubi, ketela, jagung, sagu, gandum,
kentang, jagung, talas dan masih banyak lagi. Sayangnya, di dalam masyarakat
Indonesia muncul resistensi bahwa selain beras adalah makanan yang terkesan
kurang bergengsi.
“Indonesia memiliki banyak varian konsumsi pokok
seperti singkong, masalahnya orang masih berpikir bahwa singkong adalah ciri
makanan menengah ke bawah. Paradigma ini harus diubah sehingga masyarakat mau
mengkonsumsi selain beras,” tandasnya.
Salah satu daerah di Indonesia yang sedang
mengupayakan pengembangan pangan alternatif adalah Nusa Tenggara Timur. Upaya
yang dilakukan adalah melalui program “desa mandiri pangan menuju desa
sejahtera”. Program ini dilakukan untuk mengatasi masalah kerawanan pangan
karena ketergantungan yang tinggi pada beras. Pelaksanaan program dimulai dari
pemerintah yang berkomitmen menyelesaikan kelaparan dengan pangan lokal. Setiap
hari kamis dan jumat, pemerintah NTT mengkonsumsi berbagai pangan lokal seperti
jagung dan sagu di lingkungan pemerintahan. (RR).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar